Dalam melaksanakan PAIKEM, guru perlu memperhatikan beberapa hal sebagai berikut:
1. Memahami sifat yang dimiliki siswa
Pada dasarnya anak memiliki imajinasi dan sifat ingin tahu. Semua anak terlahir dengan membawa dua potensi ini. Keduanya merupakan modal dasar bagi berkembangnya sikap atau pikiran kritis dan kreatif. Oleh karenanya, kegiatan pembelajaran perlu dijadikan lahan yang kita olah agar menjadi tempat yang subur bagi perkembangan kedua potensi anugerah Tuhan itu. Suasana pembelajaran yang diiringi dengan pujian guru terhadap hasil karya siswa, yang disertai pertanyaan guru yang menantang dan dorongan agar siswa melakukan percobaan, misalnya, merupakan pembelajaran yang baik untuk mengembangkan potensi siswa.
2. Memahami perkembangan kecerdasan siswa
Jean Piaget dalam Syah (2008 : 29-32) menjelaskan tentang perkembangan kecerdasan akal atau perkembangan kognitif manusia berlangsung dalam empat tahap, yakni:
a. Sensory-motor ( Sensori-motor / 0-2 tahun )
b. Pre-operational ( Pra-operasional / 2 -7 tahun )
c. Concrete-operational ( Konkret-operasional / 7 – 11 tahun)
d. Formal-operational (Formal- operasional / 11 tahun ke atas).
Selama kurun waktu pendidikan dasar dan menengah, siswa mengalami tahap Concrete-operational dan Formal-operational.
Dalam periode konkret-operasional yang berlangsung hingga usia menjelang remaja, anak memeroleh tambahan kemampuan yang disebut system of operations (satuan langkah berpikir). Kemampuan satuan langkah berpikir ini berfaedah bagi anak untuk mengkoordinasikan pemikiran dan idenya dengan peristiwa tertentu ke dalam sistem pemikirannya sendiri.
Selanjutnya, dalam perkembangan kognitif tahap Formal-operational seorang remaja telah memiliki kemampuan mengkoordinasikan baik secara serentak maupun berurutan dua ragam kemampuan kognitif, yakni:
1) Kapasitas menggunakan hipotesis
2) Kapasitas menggunakan prinsip-prinsip abstrak.
Dengan kapasitas menggunakan hipotesis (anggapan dasar), seorang remaja akan mampu berpikir hipotetis, yakni berpikir mengenai sesuatu khususnya dalam hal pemecahan masalah dengan menggunakan anggapan dasar yang relevan dengan lingkungan yang ia respons. Selanjutnya, dengan kapasitas menggunakan prinsip-prinsip abstrak, remaja tersebut akan mampu mempelajari materi-materi pelajaran yang abstrak, misalnya ilmu tauhid, ilmu matematika dan ilmu-ilmu abstrak lainnya dengan luas dan mendalam.[1]
3. Mengenal siswa secara perorangan
Para siswa berasal dari lingkungan keluarga yang bervariasi dan memiliki kemampuan yang berbeda. Dalam PAIKEM perbedaan individual perlu diperhatikan dan harus tecermin dalam kegiatan pembelajaran. Semua siswa dalam kelas tidak selalu mengerjakan kegiatan yang sama, melainkan berbeda sesuai dengan kecepatan belajarnya. Siswa yang memiliki kemampuan lebih dapat dimanfaatkan untuk membantu temannya yang lemah dengan cara ”tutor sebaya”. Dengan mengenal kemampuan siswa, apabila ia mendapat kesulitan kita dapat membantunya sehingga belajar siswa tersebut menjadi optimal.
4. Memanfaatkan perilaku siswa dalam pengorganisasian belajar
Sebagai makhluk sosial, anak sejak kecil secara alami bermain berpasangan atau berkelompok dalam bermain. Perilaku ini dapat dimanfaatkan dalam pengorganisasian belajar. Dalam melakukan tugas atau membahas sesuatu, siswa dapat bekerja berpasangan atau dalam kelompok. Berdasarkan pengalaman, siswa akan menyelesaikan tugas dengan baik apabila mereka duduk berkelompok. Duduk seperti ini memudahkan mereka untuk berinteraksi dan bertukar pikiran. Namun demikian, siswa perlu juga menyelesaikan tugas secara perorangan agar bakat individunya berkembang.
5. Mengembangkan kemampuan berpikir kritis, kreatif, dan kemampuan memecahkan masalah
Pada dasarnya belajar yang baik adalah memecahkan masalah karena dalam belajar sesungguhnya kita menghadapkan siswa pada masalah. Hal ini memerlukan kemampuan berpikir kritis dan kreatif. Kritis untuk menganalisis masalah dan kreatif untuk melahirkan alternatif pemecahan masalah. Berpikir kritis dan kreatif berasal dari rasa ingin tahu dan imajinasi yang keduanya ada pada diri anak sejak lahir. Oleh karena itu, tugas guru adalah mengembangkannya, antara lain dengan sering memberikan tugas atau mengajukan pertanyaan terbuka dan memungkinkan siswa berpikir mencari alasan dan membuat analisis yang kritis. Pertanyaan dengan kata-kata ”Mengapa?”, ”Bagaimana kalau...” dan “Apa yang terjadi jika…” lebih baik daripada pertanyaan dengan kata-kata yang hanya berbunyi “Apa?”, ”Di mana?”,”Berapa?”,”Kapan?”, yang umumnya tertutup ( jawaban betul hanya satu ).
6. Mengembangkan ruang kelas sebagai lingkungan belajar yang menarik
Ruang kelas yang menarik merupakan hal yang sangat disarankan dalam PAIKEM. Hasil pekerjaan siswa sebaiknya dipajangkan untuk memenuhi ruang kelas. Selain itu, hasil pekerjaan yang dipajangkan diharapkan memotivasi siswa untuk bekerja lebih baik dan menimbulkan inspirasi bagi siswa lain. Materi yang dipajangkan dapat berupa hasil kerja perorangan, pasangan, atau kelompok. Pajangan dapat berupa gambar, kaligrafi, peta, diagram, model, benda asli, puisi, karangan, dan sebagainya. Ruang kelas yang penuh dengan pajangan hasil pekerjaan siswa, dan ditata dengan baik, dapat membantu guru dalam kegiatan pembelajaran karena dapat dijadikan rujukan ketika membahas sebuah masalah.
7. Memanfaatkan lingkungan sebagai sumber belajar
Lingkungan (fisik, sosial, dan budaya) merupakan sumber yang sangat kaya untuk bahan belajar siswa. Lingkungan dapat berperan sebagai media belajar dan objek kajian (sumber belajar). Penggunaan lingkungan sebagai sumber belajar sering membuat siswa merasa senang dalam belajar. Belajar dengan menggunakan lingkungan tidak selalu harus di luar kelas. Bahan dari lingkungan dapat dibawa ke ruang kelas untuk menghemat biaya dan waktu. Pemanfaatan lingkungan dapat mengembangkan sejumlah keterampilan seperti mengamati (dengan seluruh indera), mencatat, merumuskan pertanyaan, berhipotesis, mengklasifikasi, membuat tulisan, dan membuat gambar atau diagram.
8. Memberikan umpan balik yang baik untuk meningkatkan kegiatan belajar
Mutu hasil belajar akan meningkat apabila terjadi interaksi dalam belajar. Pemberian umpan balik (feedback) dari guru kepada siswa merupakan salah satu bentuk interaksi antara guru dan siswa. Umpan balik hendaknya lebih banyak mengungkapkan kekuatan daripada kelemahan siswa. Selain itu, cara memberikan umpan balik pun harus secara santun. Hal ini dimaksudkan agar siswa lebih percaya diri dalam menghadapi tugas-tugas belajar selanjutnya. Guru harus konsisten memeriksa hasil pekerjaan siswa dan memberikan komentar dan catatan. Catatan guru berkaitan dengan pekerjaan siswa lebih bermakna bagi pengembangan diri siswa daripada hanya sekedar angka.
Untuk mendapatkan umpan balik dari anak didik diperlukan beberapa teknik yang sesuai dan tepat dengan diri setiap anak didik sebagai makhluk individual. Beberapa teknik untuk mendapatkan umpan balik dari anak didik antara lain :
a. Memancing aspirasi anak didik
b. Memanfaatkan teknik alat bantu yang akseptabel
c. Memilih bentuk motivasi yang akurat ( misalnya : memberi angka, hadiah, pujian, memberi tugas, hukuman, dll. )
d. Menggunakan metode yang bervariasi.[2]
9. Membedakan antara aktif fisik dengan aktif mental
Banyak guru yang cepat merasa puas saat menyaksikan para siswa sibuk bekerja dan bergerak, apalagi jika bangku diatur berkelompok dan para siswa duduk berhadapan. Situasi yang mencerminkan aktifitas fisik seperti ini bukan ciri berlangsungnya PAIKEM yang sebenarnya, karena aktif secara mental (mentally active) lebih berarti daripada aktif secara fisik (phisically active). Sering bertanya, mempertanyakan gagasan orang lain, dan mengungkapkan gagasan merupakan tanda-tanda aktif secara mental. Syarat berkembangnya aktif mental adalah tumbuhnya perasaan tidak takut, seperti: takut ditertawakan, takut disepelekan, dan takut dimarahi jika salah. Oleh karena itu, guru hendaknya menghilangkan penyebab rasa takut tersebut, baik yang muncul dari temannya maupun dari guru itu sendiri. Berkembangnya rasa takut sangat bertentangan dengan prinsip PAIKEM.
10. Pengelolaan Kelas
Masalah pokok yang dihadapi guru, baik pemula maupun yang sudah berpengalaman adalah pengelolaan kelas. Pengelolaan kelas merupakan maslah tingkah laku yang kompleks dan guru menggunakannya untuk menciptakan dan mempertahankan kondisi kelas sedemikian rupa sehingga anak didik dapat mencapai tujuan pengajaran secara efisien dan memungkinkan mereka dapat belajar. Dengan demikian pengelolaan kelas yang efektif adalah syarat bagi pengajaran yang sfektif.
Suatu kondisi belajar yang optimal dapat tercapai jika guru mampu mengatur anak didik dan sarana pengajaran serta mengendalikannya dalam suasana yang menyenangkan untuk mencapai tujuan pengajararan. Juga hubungan interpersonal yang baik antara guru dan anak didik dan anak didik dengan anak didik, merupakan syarat keberhasilan pengelolaan kelas. Pengelolaan kelas yang efektif merupakan prasyarat mutlak bagi terjadinya proses belajar mengajar.[3]
Menurut Made Pidarta untuk mengelola kelas secara efektif perlu diperhatikan hal – hal sebagai berikut :
- Kelas adalah kelompok kerja yang diorganisasi untuk tujuan tertentu, yang dilengkapi oleh tugas – tugas dan diarahkan oleh guru.
- Dalam situasi kelas, guru bukan tutor untuk satu anak pada waktu tertentu, tetapi bagi semua anak atau kelompok.
- Kelompok mempunyai perilaku sendiri yang berbeda dengan perilaku – perilaku masing – masing individu dalam kelompok itu. Kelompok mempengaruhi individu – individu dalam hal bagaimana mereka memandang dirinya masing – masing dan bagaimana belajar.
- Kelompok kelas menyisipkan pengaruhnya kepada anggota – anggota. Pengaruh yang jelek dapat dibatasi oleh usaha guru dalam membimbing mereka di kelas dikala belajar.
- Praktik guru waktu belajar cenderung terpusat pada hubungan guru dan siswa. Makin meningkat ketrampilan guru mengelola secara kelompok, makin puas anggota – anggota di dalam kelas.
- Struktur kelompok, pola komunikasi dan kesatuan kelompok ditentukan oleh cara mengelola, baik untuk mereka yang tertarik pada sekolah maupun bagi mereka yang apatis, masa bodoh atau bermusuhan.[4]
---------------------------------------
[1] Muhibbin Syah, Islamic English : A Competency-based Reading Comprehension, Cetakan Ke-2 ( Bandung : PT. Remaja Rosdakarya, 2006 ), 30-32.
[2] Syaiful Bahri Djamara dan Aswan Zain, Strategi Belajar Mengajar ( Jakarta : Rineka Cipta, 2006 ), 143.
[3] ibid, Hal, 174.
[4] ibid, Hal, 214 – 215.
0 komentar:
Post a Comment