Hindari Mengeluh..!!! Manusia dan Medsos Bukan Tempat Mengeluh, Lalu Kepada Siapa Kita Mengeluh...???

Kita semua pasti pernah mempunyai masalah dalam kehidupan. Ada kalanya kita merasakan bahagia dan senang, ada kalanya kita merasakan sedih dan pilu. Hal ini adalah sunnatullah.

Hikmah Sholat

Shalat sebagai Rukun Islam ke dua sarat dengan makna dan hikmah yang terkait dengan aktivitas keseharian dalam kehidupan. Diantara hikmah shalat yaitu:

BERKAH MAULID NABI MUHAMMAD SAW

Kita memperingati kelahiran Nabi, kita akan mendapatkan empat perkara.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

"SELAMAT DATANG DI BLOG PUSTAKA ASLIKAN, SEMOGA BERMANFAAT"

Tugas dan Tanggung Jawab Guru

Tugas dan tanggung jawab guru sebenarnya bukan hanya disekolah atau madrasah saja, tetapi bisa dimana saja mereka berada. Dirumah, guru sebagai orang tua dari anak mereka adalah pendidik bagi putera-puteri mereka. Didalam masyarakat desa tempat tinggalnya, guru sering dipandang sebagai tokoh teladan bagi orang- orang disekitarnya. Pandangan, pendapat, atau buah fikirannya sering menjadi ukuran atau pedoman kebenaran bagi orang-orang disekitarnya karena guru dianggap memiliki pengetahuan yang lebih luas dan lebih mendalam dalam berbagai hal.

Walaupun anggapan masyarakat, terutama masyarakat desa atau kota kecil yang demikian itu sangat berlebihan atau bisa dibialang tidak tepat, tetapi kenyataanya memang banyak guru sering terpilih menjadi ketua atau pengurus berbagai perkumpulan atau organisasi-organisasi sosial, ekonomi, kesenian, dan lainnya. Demikian itu timbul karena masyarakat memandang bahwa guru mempunyai pengalaman yang luas dan memiliki kemampuan kecakapan untuk melakukan tugas-tugas apapun didesa tersebut. Sekurang-kurangnya pendapat atau pertimbangan dan saran- sarannya selalu diperlukan guna pembangunan masyarakat desa.

Demikian nampak betapa pentingnya peranan guru dan betapa beratnya tugas serta tanggung jawabnya, terutama tanggung jawab moral digugu dan ditiru, yaitu digugu kata- katanya dan ditiru perbuatannya atau kelakuannya. Disekolah mereka menjadi tumpuan atau pedoman tata tertib kehidupan sekolah yaitu pendidikan atau pengajaran bagi murud-muridnya, dan di masyarakat mereka sebagai panutan tingkah laku bagi setiap warga masyarakat.

Disekolah sebenarnya tugas guru serta tanggung jawab seorang guru bukanlah sebagai pemegang kekuasaan, tukang perintah, melarang, dan menghukum murid- muridnya, tetapi sebagai pembimbing dan pengabdi anak, artinya guru harus selalu siap sedia memenuhi kebutuhan jasmani dan rohani anak secara keseluruhannya. Seorang guru harus mengetahui apa, mengapa, dan bagaimana proses perkembangan jiwa anak itu, kerena sebagai pendidik anak terutama bertugas untuk mengisi kesadaran anak- anak, membina mental mereka, membentuk moral mereka, dan membangun kepribadian yang baik dan integral, sehingga mereka kelak berguna bagi nusa dan bangsa.

Peters, sebagaimana dikutip oleh Nana Sudjana yang mengemukakan bahwa ada tiga tugas dan tanggung jawab guru, yaitu: guru sebagai pengajar, guru sebagai pembimbng, dan guru sebagai administrator kelas[1].

Ketiga tugas guru tersebut, merupakan tugas pokok profesi guru. Guru sebagai pengajar lebih menekankan pada tugas dalam merencanakan dan melaksanakan pengajaran. Dalam tugas ini guru dituntut memiliki sepererangkat pengetahuan dan keterampilan teknis mengajar, disamping menguasai ilmu atau meteri yang akan diajarkannya. Guru sebagai pembimbing memberi tekanan kepada tugas dan memberikan bantuan pada anak didik dalam pemecahan masalah yang dihadapi. Sedangkan tugas sebagai administrator kelas pada hakekatnya merupakan jalinan ketatalaksanaan pada umumnya.

Sedangkan menurut Piet A. Sahertian dan Ida Aleida, mengemukakan bahwa tugas guru dikategorikan dalam tiga hal, yaitu: tugas profesional, tugas personal dan tugas sosial[2]. Untuk mempertegas dan memperjelas tugas guru tersebut akan dijelaskan sebagai berikut:

a. Tugas profesional guru

Tugas profesional guru yang meliputi mendidik, mengajar, dan melatih mempunyai arti yang berbeda. Tugas mendidik mempunyai arti bahwa guru harus meneruskan dan mengembangkan nilai-nilai hidup, sedangkan tugas mengajar berarti meneruskan dan mengembangkan ketrampilan-ketrampilan kepada anak didik. Sehingga dengan demikian sebelum terjun dalam profesinya, guru sudah harus memiliki kemampuan baik yang bersifat edukatif maupun non edukatif.

Adapun tugas pokok seorang guru dalam kedudukannya sebagai pendidik professional atau tenaga pendidik seperti disebutkan dalam UU RI No.20 tahun 2003 pasal 39 tentang Sistem Pendidikan Nasional menyebutkan:
Tenaga kependidikan bertugas melaksanakan administrasi, pengelolaan, pengembangan, pengawasan, dan pelayanan teknis untuk menunjang proses pendidikan pada satuan pendidikan.
Pendidik merupakan tenaga professional yang bertugas merencanakan dan melaksanakan proses pembelajaran, menilai hasil pembelajaran, melakukan penelitian, dan pengabdian kepada mayarakat, terutama bagi pendidik pada perguruan tinggi.
Pendidik yang mengajar pada satuan pendidikan dasar dan menengah disebut guru dan pendidik yang mengajar pada satuan pendidikan tinggi disebut dosen.[3]

b. Tugas personal guru

Guru merupakan ujung tombak dalam proses belajar mengajar didalam kelas. Oleh karena itu kemampuan guru marupakan indikator pada keberhasilan proses belajar mengajar. Disamping itu tugas profesionalisme guru juga mencakup tugas terhadap diri sendiri, terhadap keluarga, dan terutama tugas dalam lingkungan masyarakat dimana guru tersebut tinggal. Tugas-tugas tersebut tidak dapat dipisahkan dari kehidupan seorang guru, karena bagaimanapun juga sosok kehidupan seorang guru adalah merupakan sosok utama yang berkaitan dengan lingkungan dimana guru tinggal, sehingga guru harus mempunyai pribadi yang rangkap yang harus dapat diperankan dimana guru itu berada. Tugas personal guru yang dimaksud disini adalah tugas yang berhubungan dengan tanggungjawab pribadi sebagai pendidik, dirinya sendiri dan konsep pribadinya.

Tugas guru yang berhubungan dengan tanggung jawab sebagai seorang pendidik, sangat erat hubungannya dengan tugas profesionalisme yang harus dipenuhi oleh seorang guru dalam kaitannya dengan pelaksanaan proses belajar mengajar. Dewasa ini sering dijumpai bahwa seorang guru lebih mementingkan tugas pribadinya dari pada harus melaksanakan tugas dan kewajibannya sebagai seorang pendidik, sehingga tidak mustahil adanya guru yang tidak bisa melaksanakan tugasnya sebagai pendidik dengan baik, karena lebih mementingkan persoalan yang berkenaan dengan pribadinya sendiri. Misalnya seorang guru tidak mengajar karena harus mengajar ditempat lain untuk menambah pendapatan pribadinya. Hal semacam ini seringkali mengakibatkan jatuhnya korban pada salah satu pihak, yaitu anak didiknya, hal ini dikarenakan keteledoran guru yang berusaha mencari tambahan penghasilan untuk dirinya pribadi.

Kenyataan diatas, menunjukkan bahwa sering kali guru tidak dapat memisahkan antara tanggung jawab sebagai seorang pendidik dan kepentingan pribadinya, karena itu seorang guru harus mengetahui peran dan tanggung jawab pekerjaan yang diembannya. Hal ini sesuai dengan apa yang dikemukakan oleh DR. Zakiah Darajat, bahwa setiap guru hendaknya mengetahui dan menyadari betul bahwa kepribadiannya yang tercermin dalam berbagai penampilan itu ikut menentukan tercapai tidaknya tujuan pendidikan pada umumnya, dan tujuan lembaga pendidikan tempat ia mengajar khususnya[4].

Pernyataan tersebut mengandung pengertianbahwa seorang guru dituntut untuk memiliki kepribadian yang mantap dalam menjalankan tugas dan tanggung jawabnya sebagai pendidik pada umumnya, ataupun citra dirinya yang menyandang predikat sebagai seorang guru.

c. Tugas sosial guru

Tugas sosial bagi seorang guru ini berkaitan dengan komitmen dan konsep guru dalam masyarakat tentang peranannya sebagai anggota masyarakat dan sebagai pembaharu pendidikan dalam masyarakat. Secara langsung maupun tidak langsung tugas tersebut harus dipikul dipundak guru dalam meningkatkan pembangunan pendidikan masyarakat.

Argumentasi sosial yang masih timbul dalam masyarakat adalah menempatkan kedudukan guru dalam posisi yang terhormat, yang bukan saja ditinjau dari profesi atau jabatannya, namun lebih dari itu merupakan sosok yang sangat kompeten terhadap perkembangan kepribadian anak didik untuk menjadi manusia–manusia kader pembangunan. Hal ini sesuai dengan apa yang dikemukakan oleh Ali Saifulloh H.A. dalam bukunya “Antara Filsafat dan Pendidikan“ yang mengemukakan bahwa argumentasi sosial ini melihat guru bukan hanya sebagai pengajar, tetapi adalah sebagai pendidik masyarakat sosial lingkungannya disamping masyarakat sosial profesi kerjanya sendiri[5].

Dari pernyataan diatas dapat dipahami bahwa tugas sosial guru tidak hanya sebagai pendidik masyarakat keluarganya, tetapi juga masyarakat sosial lingkungannya serta masyarakat sosial dari profesi yang disandangnya. Dengan perkataan lain, potret dan wajah bangsa dimasa depan tercermin dari potret-potret diri para guru dewasa ini. Dengan gerak maju dinamika kehidupan bangsa berbanding lurus dengan citra para guru ditengah-tengah masyarakat[6].

Hal tersebut membuktikan bahwa sampai saat ini masyarakat masih menempatkan guru pada tempat yang terhormat dilingkunganya dan juga dalam kiprahnya untuk mensukseskan pembangunan manusia seutuhnya. Karena dari guru diharapkan masyarakat dapat memperoleh ilmu pengetahuan, dan hal ini mempunyai arti bahwa guru mempunyai kewajiban mencerdaskan kehidupan bangsa menuju kepada pembentukan manusia Indonesia seutuhnya berdasarkan Pancasila. Bahkan pada hakikatnya guru juga merupakan komponen strategis yang memiliki peran penting dalam menentukan gerak majunya kehidupan suatu bangsa.

Melihat dari beberapa uraian diatas, maka dapat digaris bawahi dalam masyarakat tidak ada pejabat lain yang memikul tanggung jawab moral begitu besar selain guru dengan segala konteks dari lingkupnya. Hal ini sesuai dengan apa yang telah disinyalir oleh Tim Pembina Matakuliah Didaktik Metodik atau Kurikulum yang menyatakan bahwa, naik turunnya martabat suatu bangsa terletak pula sebagaian besar dipundak para guru atau pendidik formal yang bertugas sebagai pembina generasi masyarakat yang akan datang. Guru dan pendidikan non formal lainnya adalah pemegang kunci dari pembangunan bangsa atau “Nation and character building”. Karena itulah dalam hati sanubari setiap guru harus selalu berkobar semangat”[7].

Ungkapan tersebut menunjukkan bahwa tugas dalam lingkungan sosial kemasyarakatan,seorang guru bukan saja harus menjadi panutan dan contoh bagi anak didiknya namun juga menjadi cermin masyarakat, terutama dalam upayanya mempersiapkan generasi muda penerus pembangunan dewasa ini. Hal ini sangat penting karena dari gurulah diharapkan nilai-nilai pengetahuan ynag bersifat edukatif maupun normatif dapat diwariskan kepada generasi penerus bangsa. Hal ini juga sesuai dengan apa yang diperintahkan oleh Nabi Muhammad SAW, dalam suatu hadist yang artinya “Didiklah anak-anakmu, mereka itu dijadikan buat menghadapi masa yang lain dari masa kamu nanti[8].


--------------------------------------------
[1] Nana Sudjana, Dasar- dasar Proses Belajar Mengajar (Bandung: Sinar Baru, 1991), hal. 15
[2] Pied A Sahertian dan Ida Aleida, Superfisi Pendidikan dalam Rangka Program Inservice Educatio ( Surabaya: Usaha Nasional, 1990), hal. 38
[3] Undang-Undang Republik Indonesia, Sistem Pendidikan Nasional (Bandung: Citra Umbara, 2003), Hal.27
[4] Zakiah Darajat, Ilmu Pendidikan Islam ( Jakarta: Bumi Aksara, 1992), hal. 19
[5] Ali Saifullah, Antara Filsafat dan Pendidikan (Surabaya: Usaha Nasional, 1989), hal. 12-13
[6] Moh. Uzer Usman, Menjadi Guru Profesiona (Bandung: Remaja Rosda Karya.. 1994), hal: 15
[7] Tim Pembina Matakuliah Didakdik Metodik, Kurikulum PBM (Surabaya: IKIP Surabaya, 1981), hal: 9
[8] M. Athiyah Al-Abrosyi, Dasar-Dasar Pokok Pendidikan Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1979),hal. 35

Hakikat Syukur

[Artikel Hakikat Syukur ini Disarikan dari Al Muntakhobat karya Hadhrotus Syaikh Ahmad Asrori Al Ishaqi RA].

Syukur merupakan akhlak ketuhanan dan termasuk sebahagian dari maqom tertinggi seorang salik, pakaian orang-orang yang berma'rifat dan hiasan orang-orang yang didekatkan dan disampaikan ke pangkuan Allah SWT. Allah SWT berfirman: "Jika kamu meminjamkan kepada Allah pinjaman yang baik, niscaya Allah melipat gandakan balasannya kepadamu dan mengam­puni kamu. Dan Allah Maha Pembalas jasa lagi Maha Penyantun" [Q.S. At Taghobun: 17].

Anak cucu Adam sejak awal pertumbuhan, awal terciptanya dan keluar dari rahim ibu mereka mempunyai gelar dan ditandai dengan kebodohan dan tidak berilmu. Allah SWT berfirman: "Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui apapun." [QS. An Nahl : 78]. Lalu Allah SWT menganugerahi keistimewaan kepada sebahagian mereka dengan keistimewaan bantuan dan pertolongan-Nya. Allah SWT memilih mereka sebagai orang-orang yang mendapatkan petunjuk dan orang-orang yang menjadi kekasih-Nya, dimana Allah SWT menjadikan semua sebab dan perantara untuk menghasilkan Ilmu tersebut. Allah SWT berfirman: "Dan Dia memberi kamu pendengaran, penglihatan dan hati." [QS. An Nahl: 78]. Lalu Allah SWT menyatakan penyandaran kepada anak cucu Adam dan menetapkan derajat yang tinggi, dekat dan sampai di sisi-Nya dengan adanya syukur kepada-Nya. Allah SWT berfirman: "Agar kamu bersyukur." [QS. An Nahl: 78].

Marilah kita melihat, mempelajari dan memikirkan perilaku Baginda Habibillah Rasulullah Muhammad SAW. Beliau SAW melakukan solat sehingga kedua kaki mulia beliau bengkak agar menjadi hamba Allah yang banyak bersyukur. Beliau SAW ditanya: "Wahai Rasulullah, bukankah Allah telah mengampuni segala dosamu yang telah lewat dan yang akan datang ?" Beliau SAW menjawab: "Aku ingin menjadi hamba yang banyak bersyukur” [H.R. Bukhori-Muslim].

Keadaan seorang hamba adakalanya bersyukur, diam atau mengadu. Jika ia bersyukur maka ia adalah asy syaakir (orang yang bersyukur), jika diam maka ia adalah ash shobir (orang yang bersabar). Dan jika ia mengadu kepada selain Allah, maka ia adalah asy syaaki (orang yang mengadu kepada selain-Nya). Merasa bodoh, hina, nista, rendah diri, merasa butuh, tercepit dan mendekatkan diri (Jawa: kepepet dan mepet) kepada Allah SWT dalam segala hal adalah merupakan suatu keluhuran dan kemuliaan, sedangkan mengadu kepada selain Allah SWT adalah merupakan kehinaan dan kenistaan. Allah SWT berfirman: "Sesungguhnya apa yang kamu sembah selain Allah itu adalah berhala, dan kamu membuat dusta. Sesungguhnya yang kamu sembah selain Allah itu tidak mampu memberikan rezeki kepadamu, maka mintalah rezeki itu di sisi Allah, dan sembahlah Dia dan bersyukurlah kepada-Nya. Hanya kepada-Nya-lah kamu akan dikembalikan." [Q.S. Al Ankabut: 17 ].

Diriwayatkan dari Sayyidina Anas RA, ia berkata, Rasulullah SAW bersabda: "Tidak ada suatu nikmat, meskipun masanya sudah lewat, dimana seorang hamba memperbaharui syukur atas nikmat tersebut, kecuali Allah SWT akan memperbaharui pahala untuknya. Dan tidak ada suatu musibah, meskipun masanya sudah lewat, di mana seorang hamba memperbaharui istirja' (membaca innaa lillaaHhi wa innaa ilaiHhi raaji'un), kecuali Allah SWT akan memperbaharui pahala untuknya. Mensyukuri atas nikmat akan meringankan beban yang berat, dan bersabar atas kesusahan dan kesulitan akan memelihara, menjaga dan mengumpulkan buah yang akan dipetik."[1]

Menurut bahasa, asal kata syukur dipakai dalam ungkapan orang arab: "daabatun syakuur", yakni ketika binatang ternak kelihatan gemuk karena makanan yang diberikan padanya. Imam Al Jauhari RA berkata: "Binatang ternak disebut asy syakur jika ia mencukupi dengan makanan yang sedikit." Semakna dengan ini, ungkapan seseorang: "SyukruHhu ta'ala" maksudnya bahwa Allah memberikan pahala yang banyak atas amal yang sangat sedikit." Oleh karena itu, syukur menurut bahasa adalah tambahan. Dalam bahasa arab dikatakan: "Syakarat Ad Dabbah, tasykuru, syukran", maksudnya binatang ternak kelihatan gemuk karena makanan yang diberikan. Dalam bahasa, syukur diterangkan sebagai perbuatan yang timbul akibat dorongan rasa mengagungkan Allah Dzat Yang Maha Pemberi nikmat, ditinjau dari segi bahwa Allah telah memberikan nikmat kepada orang yang bersyukur dan kepada orang lain.

Dalam pengertian istilah, syukur adalah mendayagunakan semua kenikmatan yang dianugerahkan kepada seorang hamba untuk tujuan apa ia diciptakan, yakni untuk ibadah, khidmah atau ma'rifat. Hakikat syukur menurut Ulama Muhaqiqun adalah mengakui kenikmatan yang dianugerahkan Allah Dzat Yang Maha Pemberi nikmat, disertai dengan rasa lemah, bodoh, hina dan nista serta rendah diri. Pengertian ini sebenarnya merupakan penyebab syukur, bukan hakikat dari pada syukur.

Berdasarkan pengertian ini Allah SWT boleh disifati dengan Asy Syakur secara majaz (kiasan) bukan secara hakiki, sebab rasa lemah, bodoh, hina dan nista serta rendah diri itu mustahil bagi Allah. Oleh karenanya, kata syakur yang disandarkan pada Allah mempunyai pengertian bahwa Allah SWT membalas hamba-hamba-Nya, dan memberi pahala atas syukur mereka, sehingga balasan syukur itu dinamakan syukran. Allah SWT berfirman: "Dan balasan suatu kejahatan adalah kejahatan yang serupa, maka barang siapa mema'afkan dan berbuat baik, maka pahalanya atas (tanggungan) Allah. Sesungguhnya Dia tidak menyukai orang-orang yang dlalim." [QS. Asy Syura: 40].

Adapun syukur diertikan bahwa Allah adalah Dzat Yang Maha Pemberi pahala kepada hamba-hamba-Nya yang ta'at dan soleh, sebagaimana yang dikatakan bahwa syukur adalah memuji kepada Dzat yang berbuat baik dengan menuturkan kebaikan-kebaikan-Nya, maka boleh menyandarkan kata syakur kepada Allah secara hakiki.

Dari pemaparan di atas, tidak ada kemusykilan lagi, bahwa Allah SWT memuji hamba-hamba-Nya yang ta'at dan soleh dengan menyebutkan ketaatan mereka, dan ini juga termasuk kebaikan yang dilakukan oleh Allah. Seorang hamba juga dapat disebut syakur, karena memuja dan memuji Allah dengan menyebutkan nikmat-nikmat-Nya, dan hal ini juga termasuk bentuk perbuatan baik yang agung. Maksudnya, bahwa kebaikan seorang hamba kepada Tuhannya adalah berbakti kepada Allah SWT, sedangkan kebaikan Allah Yang Maha Haq kepada hamba-Nya adalah memberi kenikmatan berupa pertolo­ngan untuk berbuat syukur kepada-Nya. Syukur seorang hamba; intipati yang utama adalah mengucapkan dengan lisan dan mengakui dengan hati atas nikmat-nikmat yang dianugerah­kan oleh Allah, disertai dengan sikap tenang dan teduhnya anggota badan.

Ditinjau dari intipati syukur dibahagi menjadi tiga:
Syukur dengan lisan, iaitu pengakuan seorang hamba atas nikmat yang disertai rasa tenang, teduh, merasa bodoh, hina dan nista.
Syukur dengan badan dan anggota badan, iaitu pengabdian seorang hamba dengan memenuhi, mengabdi dan berkhidmah kepada Allah SWT.
Syukur dengan hati, yaitu bersimpuhnya seorang hamba atas dasar kemuliaan, keindahan, kebesaran, keagungan dan kesempurna­an Allah SWT, dengan selalu menjaga kemuliaan-Nya.

Syukur dengan lisan hanya sekedar syukur secara bahasa saja. Syukur dengan anggota badan merupakan syukur secara bahasa dan istilah, dengan memandang cakupannya pada anggota lahir dan anggota bathin. Sedangkan syukur dengan hati adalah dengan bersimpuhnya seorang hamba atas dasar rasa menyaksikan kemulia­an, keindahan, kebesaran, keagungan dan kesempurnaan Allah SWT. Yakni, hatinya selalu menghadirkan dan melihat bahwa setiap anugerah dan kemuliaan itu datangnya dari Allah semata. Syaratnya adalah adanya kekuatan roja' (harapan) akan diterima di sisi Allah, yang disertai dengan selalu menjaga (aturan Allah) dan menyaksikan kemuliaan, keindahan, kebesaran, keagungan dan kesempurnaan Allah SWT, serta melaksanakan hakikat mengikuti Baginda Habibillah Rasulullah Muhammad SAW dengan penuh tanggung jawab dan tanpa adanya keinginan untuk diberi atau tidak. Sayyiduna Asy Syaikh Khoirun Nassaj RA berkata: "Harta warisan amal-amalmu adalah sesuatu yang layak pada semua perbua­tan­mu. Oleh kerana itu, carilah harta warisan anugerah dan kemuliaan-Nya, kerana hal itu jauh lebih utama bagimu."

Menurut sebahagian Ulama, syukur yang disandarkan pada maqom-maqom semua orang yang soleh itu ada tiga:
Syukur orang-orang alim, yaitu mensyukuri dengan lisan mereka, sebab tidak ada ilmu sedikitpun di sisi mereka kecuali harus disyukuri dengan lisan.
Syukur yang menjadi sifat orang-orang yang ahli ibadah, yaitu dengan perbuatan dan ketaatan mereka.
Syukur Ahli Ma'rifat, yaitu dengan istiqomah dalam bersyukur pada semua ahwal mereka, mereka pindah dari amal-amal anggota lahir menuju pada perilaku-perilaku hati.

Dari uraian ini, jika kita mengetahui makna orang yang soleh, yaitu orang yang menegakkan hak-hak Allah Yang Maha Haq dan hak-hak makhluk, nescaya kita akan faham penjelasan di atas.

[Artikel Hakikat Syukur ini Disarikan dari Al Muntakhobat karya Hadhrotus Syaikh Ahmad Asrori Al Ishaqi RA].


[1] Hadits tersebut dituangkan oleh Al Hafidl As Suyuthy dalam Al Jam'ul Kabir, juz: 1, hlm: 731. Dan disandarkan pada Hakim At Tirmidzy dari Sayyidina Anas RA.



Sumber : www.alkhidmah.com

Mana Yang Harus Didahulukan Antara Ayah dan Ibu?

Sukar untuk dibeda- bedakan antara ayah dan ibu keduanya harus kita muliakan. Jangan sampai kita berbuat baik hanya kepada ayah saja atau hanya kepada ibu saja. Kalau kita mempunyai sebagian rizki dari Allah, kita ingin memberi kepada orang tua kita, maka sebaiknya kedua-duanya turut merasakan senang dan bahagianya si anak. Akan tetapi dalam kehidupan kita terdapat suatu waktu yang kita harus mendahulukan salah satu, ayah dulu atau ibu dulu. Umpamanya kalau kita baru datang dari bepergian, atau kalau kita yang berumah tangga (berkeluarga sudah berumah pisah dengan orang tua), kita berkunjung kepada orang tua, dirumah ada ayah dan ibu berdua dan family, kepada siapa dulu kita sungkem atau cium tangan? Atau kita baru pulang dari shalat idul fitri dari masjid, kita datang ke rumah. Ibu dan ayah duduk di kursi. Kepada siapa dulu kita cium tangan dan sungkem mohon maaf? Kepada ayah dulu atau ibu dulu? 

Mungkin ada yang beranggapan bahwa ayah yang lebih di hormati lebih dulu dari pada ibu karena beranggapan bahwa ayah yang berusaha mencari nafkah. Ayah yang mempunyai kedudukan dalam masyarakat. Ayah menjadi pejabat dihormati di daerahnya, dan sebagainya, yang anggapan masyarakat tentang seseorang si ayah lebih tinggi pangkat dan derajadnya dari pada si ibu. Dalam hal hubungan di masyarakat terhadap seseorang berbeda dengan hubungan si anak terhadap orang tuanya antara si ibu dan si ayahnya. 

Walaupun si ayah mencari nafkah dan ibu tinggal di rumah mengurus rumah tangga, tidak berarti nilai si ibu lebih rendah daripada si ayah. Sebab kebahagiaan rumah tangga terdapat apabila antara suami dan istri hidup harmonis dalam melaksanakan kewajibannya masing – masing. Ada yang harus dikerjakan oleh si ibu yang si ayah tidak bisa, dan ada yang harus dikerjakan oleh si ayah yang si ibu tidak bisa. Dalam pembagian tugas ini apabila dilakukan secara harmonis akan terdapat keserasian dan kepatutan dan kerukunan. 

Dalam hubungan dengan anak, maka ada hal – hal yang orang tua antara ibu dan ayah berbeda pengorbanannya dan perasaan kasih sayangnya. Pada umumya hubungan ibu terhadap anak berbeda dengan hubungan ayah terhadap anak. Hal itu dapat kita lihat dan rasakan sendiri bahwa hubungan antara ibu dengan anak cenderung lebih dekat, dari pada hubungan seorang anak dengan ayahnya. Misalnya saja kalau ada suatu persoalan pribadi si anak lebih berani curhat kepada si ibu, misalnya lagi minta sesuatu untuk kebutuhan, si anak lebih berani mengadu kepada ibunya daripada kepada ayahnya.  

Dalam proses kejadian manusia melalui ayah dan ibu, mulai terjadi pembuatan (Talqiih an-Nuthfah wal Buwaidah) terjadi dalam rahim si ibu. Kemudian ibu yang mengandungnya selama (umumnya) Sembilan bulan, dengan susah payah. Susah memikirkan bagaimana keselamatan anaknya tidak normal, apalagi apabila kandungannya sudah tua. Payah badannya dalam bergerak, berjalan dan dalam segala keadaannya. Semua ini dirasakan oleh si ibu, tidak dirasakan si ayah. Kemudian diwaktu melahirkan si ibu berhadapan dengan maut. Setelah melahirkan si ibu harus menyusuinya selama dua tahun untuk sempurnanya. Menyusui dengan ASI (Air Susu Ibu) itulah yang terbaik menurut ilmu kesehatan dan kejiwaan, Allah berfirman : 

Yang artinya : “dan kami amanatkan kepada manusia terhadap dua orang ibu-bapaknya, ibu telah mengandungnya dalam keadaan susah payah (lemah bertambah lemah) dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada dua orang ibu-bapakmu kepada-Kulah kembalimu”. (QS. Luqman :14) 

Demikian pula firman Allah “

“para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan. Dan kewajiban ayah member makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang makruf”. (QS. Al-Baqoroh : 233) 

Di waktu menyusui ketika si anak masih kecil, yang banyak terlibat adalah si ibu. Mulai di kandungan sampai bayi dua tahun si anak selalu lekat dengan ibu. Maka peranan ibu terhadap anaknya sangat besar yang tak dapat dinilai dengan materi. Demikia pula kasih sayang si ibu terhadap anak yang di lahirkannya, seperti pada dirinya sendiri. 

Barang kali oleh karena itu semua, maka ajaran Islam sebagaimana diajarkan oleh Rasulullah, seorang anak harus berbuat baik kepada ibunya dulu baru kemudian kepada ayahnya, seperti dalam suatu hadits yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah : 

“seorang sahabat bertanya kepada Rasulullah : “Ya Rasulullah, kepada siapakah saya harus berbuat baik?” Jawab Rasulullah : “kepada ibumu”. Sahabat bertanya lagi : “kemudian kepada siapa lagi?” jawab Rasulullah : “Kepada Ibumu”. Kemudian sahabat bertanya lagi : “kemudian kepada siapa lagi?” jawab Rasulullah : “kepada Ibumu”. Kemudian sahabat bertanya lagi : “kemudian kepada siapa?” jawab Rasulullah : ‘kepada Bapakmu”. 

Dalam hadits tersebut di atas dan hadits – hadits lainnya yang semakna, bahwa seseorang berbuat baik, setelah kepada Allah, kepada ibunya dulu (Rasulullah menjawab sampai 3 kali : kepada ibumu, kepada ibumu, kepada ibumu, kemudian kepada bapakmu). Ini menunjukkan bahwa kepada ibu harus didahulukan daripada kepada ayah.


Apakah Seorang Mukmin Bisa Menjadi Penghasud?

Hasud (iri hati atau dengki) adalah penyakit hati yang hampir menimpa setiap orang, Sifat hasud amatlah buruk apabila berada dalam diri seseorang. Betapa bahayanya apabila sifat ini berada pada diri kita. Dan orang yang senantiasa bersifat hasud maka ia senantiasa tersiksa di dunia dan di akhirat, didunia ia akan senantiasa tersiksa batinya karena tidak rela nikmat-Nya jatuh kepada orang lain dan di akhirat ia akan mendapatkan siksaan yang pedih atas apa yang ia perbuat. Orang - orang yang berbudi rendah akan menampakkan rasa hasudnya, namun orang - orang mulia akan menyembunyikan rasa hasudnya itu. Hasan Al - Basri berkata, "Apakah orang beriman memiliki sifat hasud?" Ya, orang beriman pun memiliki sifat hasud, tetapi tidak sampai membahayakan karena tidak sampai mengalir ke tangan dan lidahnya. Barang siapa yang di dalam dirinya muncul sifat hasud, dia harus segera menghadapinya dengan ketaqwaan, kesabaran, dan kebencian terhadap sikap tersebut. Sifat husud sering terjadi karena urusan kepemimpinan, kedudukan, dan harta kekayaan. Juga terjadi pada orang - orang yang berbeda pendapat (dalam perdebatan) karena masing - masing ingin lebih unggul, memang itulah sejatinya manusia. Manusia tidak lepas dari sifat hasud, hal ini sesuai dengan sabda Rasulullah SAW, yakni :

"Ada tiga perkara yang tidak luput dalam diri seseorang, yaitu hasud, buruk sangka, dan mengundi nasib. Dan, aku akan menjelaskan agar kamu tidak melampaui perkara itu. Apabila engkau mendengki jangan membenci, apabila engkau berprasangka jangan membenarkan, dan apabila engkau mengundi nasib biarkan berlalu (jangan mempercayai)."

Mengapa Kebanyakan Kaum Wanita Menjadi Penghuni Neraka?

Rasulullah SAW telah bersabda yang maksudnya :

"Kebanyakan wanita itu adalah isi neraka dan kayu apinya" Saidatina Aisya bertanya "mengapa wahai Rasulullah?" Rasulullah SAW menjawab :
  1. Karena kebanyakan perempuan itu tidak sabar dalam menghadapi kesusahan, kesakitan dan cobaan seperti kesakitan ketika ia melahirkan anak, mendidik anak dan melayani suaminya serta melakukan pekerjaan - pekerjaan dirumah.
  2. Tiada memuji (bersyukur/berterima kasih) atas karunia Allah yang didatangkan-Nya melalui suaminya (jarang kaum wanita yang mau berterima kasih diatas pemberian suaminya).
  3. Sering mengkufurkan (ingkar) tentang nikmat Allah, contohnya bila terjadi pertengkaran suami istri ada istri yang mengatakan "sudah puluhan tahun saya menikah dengan kamu tapi tak dapat apa - apa".
  4. Gemar berkata / berbicara dalam perkara yang sia - sia dan yang berdosa, contohnya menceritakan harta yang dimilikinya, membicarakan orang lain (Ghibah), dll.
  5. Kurang akal dan kurang ilmu pengetahuannya dalam beragama damana mereka sering tertipu atau terpengaruh dengan bujuk rayu laki - laki, teman - temannya, alam sekeliling dan suasana serta kemewahan - kemewahan lahir.