Oleh: KH. Ubaidillah Faqih
Sebagai seorang muslim –yang taat- kalimat hamdalah akan selalu terucap manakala ia mendapatkan suatu nikmat. Hamdalah –ucapan al-hamdu lillah yang berarti “segala puji hanya untuk Allah”– merupakan ungkapan rasa syukur atau rasa terima kasih seorang manusia atas karunia dan nikmat Allah SWT.
Pengucapan hamdalah merupakan manifestasi rasa syukur secara lisan, disertai ketulusan hati dan kesadaran bahwa semua nikmat yang diterima hakikatnya dari Allah SWT.
Segala puji yang dimaksud adalah,
pertama; Qadim ala al-Qadim (pujian Allah terhadap dzat-Nya sendiri) seperti kalimat dalam surat Al-Baqarah : 30, yang artinya“Sesungguhnya Aku lebih tau apa yang tidak kalian ketahui”.
Kedua, Qadim ala al-hadits (pujian Allah terhadap makhluk-Nya) sebagaimana Allah Ta’ala memuji hambaNya dalam QS. Al-Qalam : 4, “Sesungguhnya engkau (Muhammad) benar-benar di atas budi pekerti yang luhur.”
Ketiga, Hadits ala al-Qadim (pujian makhluk kepada Allah). Sebagai umat Islam tentunya harus senantiasa melakukan pujian ini entah itu dalam ritual shalat, wirid atau dalam keadaan bagaimanapun. Semisal ucapan kita “Ya Allah.. Sesungguhnya Engkaulah yang Maha Menerima taubat dan Maha Penyayang.”
Keempat, Hadits ala al-hadits (pujian makhluk kepada sesama makhluk). Faktor yang mendorong seorang manusia memuji orang lain adalah karena mereka melihat kebaikan dan keistimewaan yang ada pada diri orang yang dipuji, namun adanya pujian tidaklah menunjukkan bahwa seseorang yang dipuji memang benar-benar berhak atas pujian itu.
Semua orang hampir pernah mendapat pujian. Dalam posisi ini, manusia sering terkecoh, bahwa sebenarnya pujian tersebut juga milik Allah. Seperti dikatakan pada kita “Kamu memang anak cerdas.” Sepintas, dengan logika sederhana, pujian tersebut adalah teruntuk kita. Tapi tidakkah kita sadari, siapakah yang menciptakan diri kita? Siapa pula yang meletakkan kecerdasan pada diri kita? Inilah yang disebut dengan pujian semu, karena pada dasarnya pujian tersebut mutlak milik Allah Sang Maha Pencipta.
Perlu diketahui pula bahwa sebenarnya pujian-pujian atau sanjungan yang teralamatkan kepada kita adalah sebagai pembuktian bahwa Allah SWT telah menyembunyikan aib kita dari mata manusia lain. Lalu sebagai gantinya, Allah menampakkan secuil kebaikan yang dititipkan dalam diri kita. Maka, hal yang harus dilakukan adalah koreksi diri dan selalu mengingat aib dan dosa-dosa yang telah ditutupi Allah. Akhirnya diri akan merasa malu apabila menerima pujian-pujian semu yang sebenarnya tidak menjadi hak kita. Allahummastur ‘auraatinaa…
Disarikan dari pengajian Mandzumah Hidayah al-Adzkiya’ ila Thariq al-Auliya’ karya Syaikh Zainuddin al-Malibary.
http://majalahlangitan.com/jangan-tebujuk-dengan-pujian-semu/
Sebagai seorang muslim –yang taat- kalimat hamdalah akan selalu terucap manakala ia mendapatkan suatu nikmat. Hamdalah –ucapan al-hamdu lillah yang berarti “segala puji hanya untuk Allah”– merupakan ungkapan rasa syukur atau rasa terima kasih seorang manusia atas karunia dan nikmat Allah SWT.
Pengucapan hamdalah merupakan manifestasi rasa syukur secara lisan, disertai ketulusan hati dan kesadaran bahwa semua nikmat yang diterima hakikatnya dari Allah SWT.
Segala puji yang dimaksud adalah,
pertama; Qadim ala al-Qadim (pujian Allah terhadap dzat-Nya sendiri) seperti kalimat dalam surat Al-Baqarah : 30, yang artinya“Sesungguhnya Aku lebih tau apa yang tidak kalian ketahui”.
Kedua, Qadim ala al-hadits (pujian Allah terhadap makhluk-Nya) sebagaimana Allah Ta’ala memuji hambaNya dalam QS. Al-Qalam : 4, “Sesungguhnya engkau (Muhammad) benar-benar di atas budi pekerti yang luhur.”
Ketiga, Hadits ala al-Qadim (pujian makhluk kepada Allah). Sebagai umat Islam tentunya harus senantiasa melakukan pujian ini entah itu dalam ritual shalat, wirid atau dalam keadaan bagaimanapun. Semisal ucapan kita “Ya Allah.. Sesungguhnya Engkaulah yang Maha Menerima taubat dan Maha Penyayang.”
Keempat, Hadits ala al-hadits (pujian makhluk kepada sesama makhluk). Faktor yang mendorong seorang manusia memuji orang lain adalah karena mereka melihat kebaikan dan keistimewaan yang ada pada diri orang yang dipuji, namun adanya pujian tidaklah menunjukkan bahwa seseorang yang dipuji memang benar-benar berhak atas pujian itu.
Semua orang hampir pernah mendapat pujian. Dalam posisi ini, manusia sering terkecoh, bahwa sebenarnya pujian tersebut juga milik Allah. Seperti dikatakan pada kita “Kamu memang anak cerdas.” Sepintas, dengan logika sederhana, pujian tersebut adalah teruntuk kita. Tapi tidakkah kita sadari, siapakah yang menciptakan diri kita? Siapa pula yang meletakkan kecerdasan pada diri kita? Inilah yang disebut dengan pujian semu, karena pada dasarnya pujian tersebut mutlak milik Allah Sang Maha Pencipta.
Perlu diketahui pula bahwa sebenarnya pujian-pujian atau sanjungan yang teralamatkan kepada kita adalah sebagai pembuktian bahwa Allah SWT telah menyembunyikan aib kita dari mata manusia lain. Lalu sebagai gantinya, Allah menampakkan secuil kebaikan yang dititipkan dalam diri kita. Maka, hal yang harus dilakukan adalah koreksi diri dan selalu mengingat aib dan dosa-dosa yang telah ditutupi Allah. Akhirnya diri akan merasa malu apabila menerima pujian-pujian semu yang sebenarnya tidak menjadi hak kita. Allahummastur ‘auraatinaa…
Disarikan dari pengajian Mandzumah Hidayah al-Adzkiya’ ila Thariq al-Auliya’ karya Syaikh Zainuddin al-Malibary.
http://majalahlangitan.com/jangan-tebujuk-dengan-pujian-semu/
0 komentar:
Post a Comment